Pak Rasdim, Supir Taksi itu Mantan Pengusaha (2)
Alfie Images |
Pagi itu memang lalu-lintas di bilangan Kemang bisa dikatakan normal. “Normalnya beginilah, macet seperti parkir begini, malah kalau sampe kekunci nih, bisa ngga kemana-mana kita”. Begitu penjelasan Pak Rasdim, 50-an tahun, Supir Taksi, tentang definisi ‘normal‘-nya kepadatan lalu-lintas Jakarta.
Pagi itu sedikit mendung, tapi pembicaraan dengan Pak Rasdim terasa hangat dan ‘cerah’, apalagi ketika dia menyebutkan angka ’300 juta’ dan ’500 juta’ sebagai penghasilan bulanan yang ia peroleh, dulu ketika ia menjadi pengusaha.“Jadi gimana ceritanya Pak Rasdim?” Motty menggali informasi lebih lanjut.
“Tahun kejayaan saya itu mulai 1992. Saya bisnisnya macem². Bisnis ini itu, Alhamdulillah hasilnya sangat memuaskan. Ya itulah yang saya sampaikan tadi, sebulan bisa 300 juta, kadang 500, pernah 2M. Hidup saya bener-bener bergelimang harta” ceritanya sambil menerawang, nampaknya ia amat kehilangan.
“Saya juga dulu aktif di suatu partai, saya salah satu tim keuangan partai @NoMention. Bahkan sampe jadi wakil presiden tokoh partai kita itu. Sekarang ini, minimal 60% orang DPR kenal saya, tapi memang dari awal saya tidak ingin main di dunia politik, saya sih support aja, tidak mau berkecimpung di sana. Hati nurani saya nampaknya berteriak dan tidak cocok dengan kedudukan di sana” lanjutnya lagi, masih menerawang, karena kebetulan lalu-lintas lagi padat-padatnya dan full stop alias berhenti total alias parkir gratis di tengah jalan.
“Wah Pak, kehidupan Bapak menarik sekali. Kalo boleh tau, gimana ceritanya bisa jadi supir taksi begini Pak?” detektif Motty kembali melemparkan pertanyaan ˆ⌣ˆ
“Tahun 2000 bisnis saya mulai goyang. Dan beberapa tahun kemudian, saya kena kasus. Salah satu rekan bisnis saya melakukan tindakan yang melanggar hukum sehingga bisnis kami hancur dan saya sampai terseret kasus pidana. Saya masuk penjara lama sekali, hari ini kurang dari satu tahun sejak saya keluar” jawab Pak Rasdim menceritakan titik terendah dalam kehidupannya.
Sejenak kita terdiam.. Serasa bener-bener mengalami apa yang Pak Rasdim ceritakan. Terbayang, seorang yang tadinya bergelimang harta, mau ini itu tinggal tunjuk, kemana-mana penuh sanjung puji, tiba-tiba kehilangan semuanya. Kehidupan nampaknya langsung membalikkan telapak tangannya, sehingga segalanya berjalan dengan sebaliknya bagi Pak Rasdim.
Terlihat di wajahnya, “bekas” orang kayanya masih kentara. Sepertinya memang masih ada Pak Rasdim yang dulu dalam dirinya, tapi terasa jiwanya masih belum stabil dan masih sangat merasakan keterpurukan hidupnya.
“Kehidupan memang naik turun” lanjutnya dengan pandangan yang agak menunduk. “Tidak pernah sama sekali ada dalam bayangan saya bahwa bisnis saya akan mengalami keterpurukan yang amat parah seperti ini”.
Motty tidak bisa berkata apa-apa, sepertinya semua kata-kata menghilang dari benak Motty, terbawa dalam cerita Pak Rasdim. Nampaknya tidak ada kata-kata yang bisa Motty katakan untuk membuat kondisi Pak Rasdim menjadi lebih baik, paling tidak untuk saat itu.
“Orang-orang yang tadinya dekat dengan saya, pelan-pelan menjauh. Keluarga juga demikian. Mereka yang tadinya selalu ada, baik karena memang mereka saudara atau teman dekat, atau karena memang mereka menginginkan sesuatu dari saya, selepas keterpurukan saya semuanya menghilang entah ke mana. Padahal ketika itulah keberadaan mereka sangat saya butuhkan. Tapi, benar-benar tidak ada seorang pun yang membantu saya. Tinggal saya sendirian menanggung semua beban pribadi dan beban keluarga saya” Pak Rasdim kembali bercerita tentang kisah keterpurukannya.
“Begitu ya Pak..” Motty sedikit berkata-kata, sedikit speechless gitu.
“Setiap orang ada godaannya masing-masing” katanya melanjutkan.
“Maksudnya gimana Pak?” tanya Motty agak bingung.
“Iya, setiap orang itu diturunkan cobaan yang berbeda-beda. Godaan saya itu satu…” katanya
“Maaf Pak, nanti selepas lampu merah langsung masuk ke kanan ya, ambil parkir aja dulu supaya kita masih bisa terusin ngobrolnya” potong Motty karena tempat tujuan sudah di depan mata.
“oh iya, baik baik” kata Pak Rasdim setengah melamun.
Komentar
Posting Komentar